TpOoGSY6TSz6GfM6TSGiGSAp

Slider

Jejak Emas Paleleh: Awal Penambangan dan Masuknya Kolonialisme Belanda di Buol

Suasana pertambangan emas tahun 1910 di Paleleh - Buol yang dikelola perusahan swasta Belanda ada era koloniasasi - Gambar: https://digitalcollections. universiteitleiden.nl/view/item/790288

BuolPedia - Jejak Emas Paleleh: Awal Penambangan dan Masuknya Kolonialisme Belanda di Buol

Sejarah Penemuan Emas di Paleleh

Pada paruh kedua abad ke-19, Paleleh, sebuah wilayah kecil di utara Sulawesi, menjadi sorotan akibat ditemukannya tambang emas yang melimpah.

Penemuan ini tidak hanya mengubah nasib Paleleh, tetapi juga menarik perhatian pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sedang menjalankan kebijakan ekonomi liberal sejak tahun 1870. Kebijakan ini membuka pintu bagi penanaman modal asing, termasuk di sektor pertambangan.

Pada tahun 1890, dua ahli geologi Belanda, P. Juginger dan Goeseling, diutus untuk melakukan penelitian di wilayah Buol. Mereka menemukan bukti kuat bahwa Paleleh dan sekitarnya, seperti Lintidu, memiliki kandungan emas yang kaya.

Hasil penelitian ini menjadi landasan bagi pembukaan tambang emas yang kemudian dikelola oleh perusahaan tambang Belanda.



Dampak Penambangan Emas di Paleleh

Kegiatan penambangan emas membawa dampak besar bagi Paleleh, baik secara ekonomi maupun sosial. Infrastruktur mulai dibangun untuk mendukung aktivitas tambang, termasuk rumah bagi pekerja tambang dan kamp semi permanen untuk buruh.

Pelabuhan strategis di Paleleh, yang dilindungi oleh Pulau Jellesma, menjadi jalur utama pengiriman emas ke luar wilayah.

Namun, dampak tersebut tidak sepenuhnya positif. Kekuasaan atas tambang emas yang awalnya dimiliki oleh madika (Raja Buol) mengalami pergeseran besar setelah pemerintah Hindia Belanda memonopoli tambang melalui perjanjian kontrak.

Pada tahun 1891, Firma Landberg berhasil mengikat madika Buol untuk menyerahkan sebagian besar hasil tambang dalam bentuk pajak tetap.

Pada periode ini raja yang memerintah di Buol adalah:

  • Haji Patra Turungku (1890-1899)
  • Datu Alam Turungku (1899 – 1914) 



Campur Tangan Kolonialisme di Buol

Masuknya Hindia Belanda tidak hanya membawa perubahan ekonomi, tetapi juga politik. Pemerintah kolonial secara aktif memperluas kontrolnya atas wilayah Buol.

Pada tahun 1896, Dr. H. Siber diangkat sebagai gezaghebber atau perwakilan pemerintahan Hindia Belanda di Paleleh.

Pusat administratif ini menjadi cikal bakal pemerintahan kolonial langsung di Buol.


Puncaknya terjadi pada tahun 1913, ketika Hindia Belanda secara resmi membentuk pemerintahan langsung di Buol.

Keputusan ini diambil setelah mendapatkan keuntungan besar dari monopoli perdagangan emas serta hak politik untuk mengatur pemerintahan lokal.

Awalnya, pada 20 November 1912, Assistent Resident Gorontalo mengirim surat kepada Resident Manado untuk mengusulkan perubahan sistem pemerintahan di Buol. Usulan tersebut kemudian diterima oleh Resident Manado melalui surat keputusan yang ditetapkan pada 1 April 1914 dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1913. 

Raja Datu Alam Turungku telah menandatangani Korte Verklaring pada 22 November 1912, yang menjadi landasan perubahan tersebut.

Isi keputusan tersebut mengubah struktur pemerintahan adat Buol, yaitu:

  • Penghapusan Bokidu, badan musyawarah yang sebelumnya berfungsi sebagai lembaga legislatif.
  • Penghapusan jabatan tradisional, termasuk Presiden/Madika (Raja), Jogugu (wakil raja), Wukum (bidang hukum), Kapitalyau (kapten laut), dan jabatan lainnya.
  • Penyederhanaan distrik, dari lima distrik menjadi tiga. Distrik Momunu digabungkan dengan Distrik Biau, sedangkan Distrik Paleleh bergabung dengan Distrik Bunobogu.


Akibat perubahan tersebut, struktur pemerintahan menjadi lebih sederhana, di mana di pusat pemerintahan hanya terdapat Madika (Raja) dan di tingkat distrik hanya ada Marsaoleh, masing-masing dibantu oleh Jurutulis (sekretaris).



Transformasi Paleleh sebagai Pusat Pertambangan

Paleleh yang awalnya hanyalah sebuah wilayah kecil, berkembang pesat akibat aktivitas tambang. Selain menjadi pusat administratif, wilayah ini juga menyaksikan pertumbuhan penduduk karena kedatangan pekerja dari berbagai daerah.


Pembangunan permukiman di sekitar tambang dan pelabuhan juga menjadi indikasi transformasi wilayah tersebut.

Namun, keberadaan tambang tidak lepas dari konflik. Penduduk lokal yang mendiami daerah perbukitan pada awalnya menolak aktivitas tambang. Dengan tekanan dari pemerintah kolonial dan madika Buol, penduduk akhirnya terpaksa menyerahkan tanah mereka untuk dieksplorasi.



Akhir dari Era Monopoli Kolonial

Dampak dari eksploitasi tambang emas Paleleh tidak hanya dirasakan oleh masyarakat lokal, tetapi juga mengubah struktur kekuasaan di Buol.

Pemerintah Hindia Belanda berhasil memanfaatkan potensi emas untuk kepentingan ekonomi dan politik mereka, sementara kerajaan Buol kehilangan sebagian besar kendali atas wilayah dan sumber dayanya.


Sejarah penambangan emas di Paleleh adalah salah satu bab penting dalam perjalanan Buol, yang mencerminkan bagaimana sumber daya alam dapat membawa perubahan besar, baik positif maupun negatif, bagi suatu wilayah.

Kisah ini juga menjadi pengingat tentang dampak kolonialisme yang masih terasa hingga kini di berbagai daerah di Indonesia.


Disarikan dari:

  • Anwar, Hasanuddin & Sekarningrum, Retno. (2021). PERTAMBANGAN EMAS DI PALELEH, 1985 - 1930. Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora. 7. 123-139. 10.36869/pjhpish.v7i2.196. 
  • https://adoc.pub/queue/hubungan-sosial-kultur-kerajaan-buol-dengan-gorontalo-awal-a.html

6Komentar

© Copyright - Ensiklopedia Buol Lipunoto
Berhasil Ditambahkan

Type above and press Enter to search.