Animasi rekonstruksi jatuhnya Pesawat Merpati di Gunung Tinombal tahun 1977 Gambar: https://www.youtube.com/@maydayaircrashcompilation5304 |
BuolPedia - 48 tahun yang lalu, kisah perjuangan Haji Salim Midu: Saudagar Buol yang Selamat dari Kecelakaan Twin Otter di Gunung Tinombala 1977
Latar Belakang
Pada 29 Maret 1977, sebuah tragedi mengguncang dunia penerbangan Indonesia. Pesawat Twin Otter DHC-6 bernomor registrasi PK-NUP MZ-516 milik Merpati Nusantara Airlines hilang kontak hanya lima menit setelah lepas landas dari Bandara Mutiara, Palu.
Kisah ini tidak dimaksudkan untuk mengingatkan luka yang mendalam atas musibah ini kepada keluarga para penyintas.
Namun, untuk melihat kembali bagaimana semangat para penyintas untuk bertahan hidup.
Pesawat itu dijadwalkan terbang dari Manado menuju Luwuk, Palu, dan Toli-Toli lalu kemudian kembali ke Palu.
Namun nahas, saat dari Palu ke Tolitoli, pesawat yang membawa 20 penumpang dan tiga awak ini jatuh di lereng Gunung Tinombala, Sulawesi Tengah.
Di antara penumpang pesawat tersebut adalah Haji Salim Midu, seorang saudagar asal Buol.
Kisah perjuangannya untuk bertahan hidup dan mencari pertolongan menjadi salah satu catatan penting dari peristiwa tragis ini.
Setelah kecelakaan terjadi, suasana di lokasi jatuhnya pesawat penuh kepanikan.
Menyadari keadaan yang genting, Haji Salim Midu memutuskan untuk mencari bantuan demi menyelamatkan diri dan penumpang lainnya.
Ia memilih jalur berbeda dari lokasi kecelakaan, menyusuri tebing-tebing terjal dan menyeberangi hutan lebat sendirian. Tanpa arah yang jelas, ia hanya berpegangan pada insting dan semangat untuk bertahan hidup.
Di sisi lain, Hasan Tawil dan kopilot Masykur juga memutuskan untuk meninggalkan lokasi kecelakaan. Namun, tanpa sepengetahuan Haji Salim Midu, keduanya mengambil rute yang berbeda.
Setelah tiga hari berjalan menyusuri hutan, Haji Salim Midu tiba di sebuah pertemuan dua aliran sungai.
Di tempat itu, ia secara tak terduga bertemu dengan Hasan Tawil dan kopilot Masykur yang juga sedang berjuang mencari perkampungan terdekat. Pertemuan ini memberikan harapan baru bagi ketiganya untuk bisa keluar dari belantara Gunung Tinombala.
Mereka memutuskan bergabung dan melanjutkan perjalanan bersama.
Tidak ada makanan selain air sungai yang mereka minum. Tubuh mereka semakin lemah karena serangan lintah yang menempel di kulit, dan mereka tidak memiliki pakaian yang cukup layak karena banyak yang telah robek untuk digunakan sebagai tanda jalan di pohon-pohon.
Namun, ketiganya tidak menyerah. Semangat untuk bertahan hidup dan menyampaikan kabar tentang kecelakaan itu kepada pihak berwenang terus memotivasi mereka.
Pada hari keenam, tanggal 3 April 1977, perjalanan berat mereka berakhir ketika menemukan sebuah pondok kecil di tengah kebun jagung.
Mereka berteriak meminta pertolongan, tetapi seorang wanita yang tinggal di pondok tersebut justru lari ketakutan karena mengira mereka adalah gerombolan orang asing.
Tak lama kemudian, wanita itu kembali bersama suaminya dan beberapa penduduk transmigrasi di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Ongka Malino.
Haji Salim Midu dan rekan-rekannya hampir tidak mampu berbicara karena mulut mereka kaku akibat enam hari tanpa makanan.
Setelah diberikan air tebu oleh penduduk, barulah mereka bisa makan dan menceritakan kisah tragis yang mereka alami.
Penduduk Ongka Malino segera melaporkan keberadaan mereka kepada Kepala Proyek Transmigrasi, yang kemudian meneruskan informasi ini kepada pihak berwenang.
Keesokan harinya, 4 April 1977 pukul 07.30, Helikopter datang dari Palu dengan Kapten Pilot Ely bersama dokter Murlawi. Dari Ongka Malino mereka diterbangkan ke Tolitoli karena lebih dekat ketimbang ke Palu.
Kisah perjuangannya untuk bertahan hidup dan mencari pertolongan menjadi salah satu catatan penting dari peristiwa tragis ini.
Kejatuhan Pesawat dan Awal Mula Perjuangan
Setelah kecelakaan terjadi, suasana di lokasi jatuhnya pesawat penuh kepanikan.
Menyadari keadaan yang genting, Haji Salim Midu memutuskan untuk mencari bantuan demi menyelamatkan diri dan penumpang lainnya.
Ia memilih jalur berbeda dari lokasi kecelakaan, menyusuri tebing-tebing terjal dan menyeberangi hutan lebat sendirian. Tanpa arah yang jelas, ia hanya berpegangan pada insting dan semangat untuk bertahan hidup.
Di sisi lain, Hasan Tawil dan kopilot Masykur juga memutuskan untuk meninggalkan lokasi kecelakaan. Namun, tanpa sepengetahuan Haji Salim Midu, keduanya mengambil rute yang berbeda.
Setelah tiga hari berjalan menyusuri hutan, Haji Salim Midu tiba di sebuah pertemuan dua aliran sungai.
Di tempat itu, ia secara tak terduga bertemu dengan Hasan Tawil dan kopilot Masykur yang juga sedang berjuang mencari perkampungan terdekat. Pertemuan ini memberikan harapan baru bagi ketiganya untuk bisa keluar dari belantara Gunung Tinombala.
Mereka memutuskan bergabung dan melanjutkan perjalanan bersama.
Bertahan Hidup di Hutan Belantara
Dalam perjalanan penuh perjuangan itu, Haji Salim Midu, Hasan Tawil, dan kopilot Masykur menghadapi berbagai tantangan alam. Mereka sering kali berlindung di gua atau celah-celah batu dari hujan dan dinginnya malam.Tidak ada makanan selain air sungai yang mereka minum. Tubuh mereka semakin lemah karena serangan lintah yang menempel di kulit, dan mereka tidak memiliki pakaian yang cukup layak karena banyak yang telah robek untuk digunakan sebagai tanda jalan di pohon-pohon.
Namun, ketiganya tidak menyerah. Semangat untuk bertahan hidup dan menyampaikan kabar tentang kecelakaan itu kepada pihak berwenang terus memotivasi mereka.
Akhir Perjalanan: Pertemuan dengan Penduduk Ongka Malino
Pada hari keenam, tanggal 3 April 1977, perjalanan berat mereka berakhir ketika menemukan sebuah pondok kecil di tengah kebun jagung.
Mereka berteriak meminta pertolongan, tetapi seorang wanita yang tinggal di pondok tersebut justru lari ketakutan karena mengira mereka adalah gerombolan orang asing.
Titik lokasi dari Puncak Tinombala menuju Ongka Malino |
Haji Salim Midu dan rekan-rekannya hampir tidak mampu berbicara karena mulut mereka kaku akibat enam hari tanpa makanan.
Setelah diberikan air tebu oleh penduduk, barulah mereka bisa makan dan menceritakan kisah tragis yang mereka alami.
Penduduk Ongka Malino segera melaporkan keberadaan mereka kepada Kepala Proyek Transmigrasi, yang kemudian meneruskan informasi ini kepada pihak berwenang.
Keesokan harinya, 4 April 1977 pukul 07.30, Helikopter datang dari Palu dengan Kapten Pilot Ely bersama dokter Murlawi. Dari Ongka Malino mereka diterbangkan ke Tolitoli karena lebih dekat ketimbang ke Palu.
Penyelamatan dan Akhir Tragedi
Kabar tentang keselamatan Haji Salim Midu, Hasan Tawil, dan kopilot Masykur membawa secercah harapan di tengah operasi pencarian yang telah berlangsung selama lima hari tanpa hasil.Ketiganya penumpang yang selamat dan berani melakukan perjalanan panjang menyusuri hutan belantara, untuk mencari pertolongan.
Di rumah seorang warga bernama Prayogo di daerah transmigrasi, para penyintas segera disuguhi susu panas dan dihangatkan di dekat perapian, meskipun mereka sudah diberi pakaian berupa jas dan blangkon.
Prayogo kemudian bergegas menuju kota kecamatan, Tinombo, menggunakan perahu motor untuk melaporkan keberadaan ketiga orang tersebut. Camat Tinombo meneruskan kabar itu ke Palu melalui radio SSB.
Segera setelah laporan dari Prayogo diterima, sekitar 50 warga setempat dikerahkan menuju lokasi kecelakaan melalui jalur darat. Namun, di hari ketiga perjalanan yang dipimpin oleh Pelda Mathius, persediaan makanan mereka habis.
Sebagian anggota rombongan memutuskan untuk kembali, sementara sisanya menjadi tanggung jawab tambahan bagi satu-satunya helikopter tim SAR, yang akhirnya harus menjatuhkan suplai makanan kepada mereka.
Setelah delapan hari pencarian, lokasi jatuhnya pesawat akhirnya ditemukan. Pesawat tersebut hancur dan terpecah menjadi tiga bagian. Tim penyelamat menemukan tiga korban tewas di lokasi kejadian. Tidak jauh dari titik tersebut, 10 penumpang lainnya juga ditemukan dalam kondisi meninggal dunia.
Memasuki minggu ke-4 setelah kecelakaan 29 Maret itu, dari 23 orang (penumpang dan awak), tercatat 12 orang meninggal dunia, 10 orang selamat, dan seorang lagi belum ditemukan.
Mereka yang meninggal adalah Husni Alatas, Harsoyo, Nyonya Kim Peng, Nyonya Chaerul Tiwi, Nyonya Teki Andaya, Nyonya Tini Angjaya, Jani Angjaya, Mety Anaya, Sumarto Kolopaking, kapten pilot Ahmad Anwar, dan juru mesin Irawan.
Mereka yang selamat adalah Hasan Tawil, Haji Saleh Midu, Han Tek Lay, Hartono, dr. Dwiwahyono, Suryadianto, Nyonya Husni Alatas, Munzir Hanafi, Sugiono, serta kopilot Masykur.
Namun, seorang penumpang bernama Teki Angjaya, seorang pengusaha dari Gorontalo, masih belum diketahui nasibnya karena meninggalkan lokasi kecelakaan.
Hingga kini, peristiwa ini tetap dikenang sebagai salah satu tragedi penerbangan paling bersejarah di Indonesia.
Di rumah seorang warga bernama Prayogo di daerah transmigrasi, para penyintas segera disuguhi susu panas dan dihangatkan di dekat perapian, meskipun mereka sudah diberi pakaian berupa jas dan blangkon.
Prayogo kemudian bergegas menuju kota kecamatan, Tinombo, menggunakan perahu motor untuk melaporkan keberadaan ketiga orang tersebut. Camat Tinombo meneruskan kabar itu ke Palu melalui radio SSB.
Segera setelah laporan dari Prayogo diterima, sekitar 50 warga setempat dikerahkan menuju lokasi kecelakaan melalui jalur darat. Namun, di hari ketiga perjalanan yang dipimpin oleh Pelda Mathius, persediaan makanan mereka habis.
Sebagian anggota rombongan memutuskan untuk kembali, sementara sisanya menjadi tanggung jawab tambahan bagi satu-satunya helikopter tim SAR, yang akhirnya harus menjatuhkan suplai makanan kepada mereka.
Setelah delapan hari pencarian, lokasi jatuhnya pesawat akhirnya ditemukan. Pesawat tersebut hancur dan terpecah menjadi tiga bagian. Tim penyelamat menemukan tiga korban tewas di lokasi kejadian. Tidak jauh dari titik tersebut, 10 penumpang lainnya juga ditemukan dalam kondisi meninggal dunia.
Memasuki minggu ke-4 setelah kecelakaan 29 Maret itu, dari 23 orang (penumpang dan awak), tercatat 12 orang meninggal dunia, 10 orang selamat, dan seorang lagi belum ditemukan.
Mereka yang meninggal adalah Husni Alatas, Harsoyo, Nyonya Kim Peng, Nyonya Chaerul Tiwi, Nyonya Teki Andaya, Nyonya Tini Angjaya, Jani Angjaya, Mety Anaya, Sumarto Kolopaking, kapten pilot Ahmad Anwar, dan juru mesin Irawan.
Mereka yang selamat adalah Hasan Tawil, Haji Saleh Midu, Han Tek Lay, Hartono, dr. Dwiwahyono, Suryadianto, Nyonya Husni Alatas, Munzir Hanafi, Sugiono, serta kopilot Masykur.
Namun, seorang penumpang bernama Teki Angjaya, seorang pengusaha dari Gorontalo, masih belum diketahui nasibnya karena meninggalkan lokasi kecelakaan.
Pelajaran dari Kisah Haji Salim Midu
Tragedi jatuhnya pesawat Twin Otter di Gunung Tinombala menyisakan banyak cerita duka. Namun, kisah perjuangan Haji Salim Midu menjadi pengingat tentang keberanian, solidaritas, dan semangat untuk bertahan hidup di tengah situasi paling sulit sekalipun.Tragedi kecelakaan Pesawat Twin Otter di Gunung Tinombala ini kemudian difilmkan dengan judul Operasi Tinombala yang dirilis pada tahun 1977 dengan disutradarai oleh M. Shariefuddin. Film ini dibintangi antara lain oleh Hendra Cipta dan drg. Fadly.
Hingga kini, peristiwa ini tetap dikenang sebagai salah satu tragedi penerbangan paling bersejarah di Indonesia.
Sumber:
- https://s-kisah.blogspot.com/2012/04/mencari-menanti-mencari-peristiwa.html?m=1
- https://hasanlaewang.blogspot.com/2014/08/mengenang-37-tahun-tragedi-tinombala.html
- https://historia.id/urban/articles/pesawat-jatuh-di-tinombala-vYE55/page/2
- https://www.urassisten.com/kecelakaan-pesawat-yang-pernah-terjadi-di-sulawesi-tengah/
- https://www.google.co.id/books/edition/Tragedi_Tinombala/5ec-EAAAQBAJ?hl=en&gbpv=0
Sungguh luar biasa
BalasHapussaya sangat terharu dengan penduduk transmigrasi tersebut
Kisah yang menarik, penuh heroik
Benar bang, kisah ini begitu membekas untuk generasi 80an, betapa sebuah tragedi terjadi di dekat mereka
HapusGak kebayang berapa sulitnya bertahan hidup di tengah hutan, selalu ada secercah harapan di tengah kesulitan.
BalasHapusPastinya mba, bisa kita bayangkan pada zaman itu teknologi, peralatan dan jumlah tim untuk pencarian sangat terbatas
HapusMuy interesante. Feliz año. Te mando un beso.
BalasHapusGracias, igualmente te deseo un feliz año lleno de alegría y éxito
Hapus